Boni Atolan, Wartawan Perbatasan, Tinggal di Kabupaten Malaka.
Malaka, Satusuara.info- Pilkada serentak di berbagai daerah telah selesai. Roda demokrasi kembali bergerak. Kini saatnya seluruh elemen masyarakat, termasuk insan pers, menata kembali peran dan tanggung jawabnya dalam kehidupan berbangsa, khususnya di wilayah-wilayah yang bersentuhan langsung dengan negara lain. Kawasan perbatasan seperti antara Indonesia dan Republik Demokratik Timor Leste (RDTL), menuntut perhatian lebih, terutama dari media massa yang beroperasi di sana.
Di tengah geliat demokrasi lokal, pers perbatasan tidak bisa sekadar menjadi saksi. Ia memiliki posisi strategis dalam menjaga stabilitas sosial, memperkuat identitas kebangsaan, dan mendorong percepatan pembangunan. Tantangannya, media yang seharusnya menjunjung profesionalisme kerap terjebak dalam pusaran konflik politik, terutama selama kontestasi pilkada. Setelah proses politik usai, menjadi penting untuk merefleksikan kembali fungsi ideal pers perbatasan.
Lebih dari Sekadar Informasi
Perbatasan adalah ruang strategis negara. Di sinilah wajah Indonesia pertama kali dilihat oleh bangsa lain. Karena itu, segala bentuk pemberitaan di kawasan ini tidak hanya berdampak lokal, tetapi juga menyentuh aspek geopolitik dan diplomasi.
Sayangnya, saat pilkada berlangsung, sebagian media di wilayah ini terseret ke dalam arus politik praktis. Ada yang terbawa afiliasi kandidat, ada pula yang menggunakannya sebagai ajang balas dendam setelah jagoannya kalah. Berita-berita yang seharusnya mengedukasi justru menjadi alat provokasi, bahkan kadang berbentuk hoaks yang mengabaikan etika jurnalistik.
Kondisi ini memperlihatkan adanya persoalan serius dalam integritas dan literasi media, khususnya dalam menghadapi tekanan politik lokal. Ketika kontestasi telah usai, saatnya media kembali pada marwahnya: menyampaikan informasi yang faktual, mencerahkan, dan memperkuat kohesi sosial masyarakat perbatasan.
Mengembalikan Marwah Pers
Kebebasan pers adalah pilar penting demokrasi. Namun, kebebasan itu datang bersama tanggung jawab. Di kawasan perbatasan, tanggung jawab ini memiliki dimensi yang lebih luas. Media tidak hanya dituntut objektif dan berimbang, tetapi juga sensitif terhadap konteks lokal: relasi antarwarga, kedekatan geografis dengan negara lain, serta keterbatasan infrastruktur yang kerap memperbesar kesenjangan informasi.
Karena itu, pascapilkada, media massa perlu melakukan evaluasi internal. Apakah pemberitaan yang mereka tampilkan selama masa kampanye telah adil dan proporsional? Apakah ada agenda tersembunyi yang menyusup dalam pemberitaan? Dan yang lebih penting, bagaimana mereka kembali membangun kepercayaan publik yang mungkin sempat terkoyak?
Menjadi Katalisator Pembangunan
Tantangan utama di perbatasan adalah pembangunan yang belum merata. Masalah infrastruktur, akses pendidikan, layanan kesehatan, dan ekonomi lokal menjadi keluhan utama masyarakat. Di sinilah media memiliki peran penting sebagai katalisator perubahan. Pemberitaan tidak hanya berfungsi sebagai kontrol sosial, tetapi juga mendorong perhatian pemerintah, swasta, dan lembaga internasional.
Pers di perbatasan seharusnya memfokuskan liputannya pada hal-hal substantif, seperti praktik tata kelola pemerintahan, keberlanjutan program pembangunan, serta inovasi lokal. Narasi yang dibangun hendaknya mengangkat harapan, bukan hanya mengabarkan keluhan.
Dalam banyak kasus, media yang konsisten menyuarakan kebutuhan masyarakat perbatasan dapat menjadi alat advokasi yang efektif, sekaligus membentuk ruang publik yang sehat.
Tidak Perlu Regulasi Baru
Tidak ada regulasi khusus yang mengatur pemberitaan di kawasan perbatasan, dan itu bukan masalah. Yang lebih dibutuhkan adalah penerapan disiplin etik dan peningkatan kapasitas wartawan secara berkelanjutan. Prinsip-prinsip yang diatur dalam UU Pers dan Kode Etik Jurnalistik sudah cukup, sepanjang dijalankan secara konsisten.
Namun demikian, dukungan dari negara tetap diperlukan. Pelatihan jurnalistik berbasis lokalitas, fasilitasi forum jurnalis perbatasan, serta pembentukan komunitas pers lintas daerah dapat menjadi langkah awal untuk memperkuat peran media di wilayah-wilayah strategis ini.
Penutup
Pilkada boleh selesai, tetapi pekerjaan rumah media belum tuntas. Di wilayah perbatasan, tantangannya justru baru dimulai. Masyarakat membutuhkan informasi yang akurat dan mendalam, bukan kabar sensasional yang menggiring opini. Negara membutuhkan media yang mampu menjembatani komunikasi antara pusat dan pinggiran. Dan demokrasi membutuhkan pers yang menjunjung kebenaran, bukan kemenangan kelompok tertentu.
Saatnya Pers perbatasan kembali ke jalur utama: menyuarakan kepentingan rakyat, memperkuat integrasi bangsa, dan menjadi penjaga etika publik di tapal batas negeri. (Red)